Dr Alpi Sahari, SH, M.Hum: Kasus Kopi Jessica Diputuskan Dengan Sistem Due Process Model

Dr Alpi Sahari, SH, M.Hum: Kasus Kopi Jessica Diputuskan Dengan Sistem Due Process Model

DOSEN Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera, Dr Alpi Sahari, SH, M.Hum. Waspada/Ist
DOSEN Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera, Dr Alpi Sahari, SH, M.Hum. Waspada/Ist

 Dalam kasus hukum kopi beracun yang melibatkan Jessica Kumala Wongso telah diputus berdasarkan mekanisme hukum berlaku dengan asas res judicata pro veritate habetur, dengan dasar di dalam hukum pidana, yang mensyaratkan mekanisme pembuktian berlandaskan pada sistem due process model. Hal ini dikatakan Dr Alpi Sahari, SH, M.Hum (foto), Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera, Sabtu (7/10).

“Artinya, yang dititiberatkan adalah hak-hak individu, adanya pembatasan-pembatasan terhadap penegak hukum dan menyamaratakan kedudukan antarpenuntut umum dan terdakwa. Terhadap keterangan-keterangan yang terdapat dalam film dokumenter terkait Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso pada dasarnya telah diuji oleh hakim, yang diselaraskan dengan fakta yang dikemukakan dalam persidangan, baik fakta yang disampaikan oleh penutut umum,” kata Dr Alpi, yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum atas kasus hilangnya nyawa Brigadir Josua Hutabarat di PN Jakarta Selatan.
Perhatian publik saat ini setelah adanya film dokumenter Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso yang dirilis Netflix kembali terfokus dalam perkara yang beberapa tahun lalu menjadi perhatian. Yakni, perkara ‘Kopi Sianida’. “Perkara ini telah mempunyai kekuatan hukum (inkrah) berdasarkan Putusan Pengadilan yang menyatakan Jessica terbukti bersalah melakukan tindak pidana ‘pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu’ sebagaimana diatur dan diancam pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUH Pidana,” tegasnya. Jessica melalui kuasa hukumnya telah melakukan upaya hukum sampai ke Mahkamah Agung, dengan Amar Putusan bahwa Mahkamah menolak permohonan kasasi dari permohonan Kasasi/Terdakwa Jessica sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 498 K/PID/2017. Dr Alpi menguraikan, kasus ini diawali dengan berkas perkara penyidikan oleh penyidik Polri yang telah dinyatakan lengkap oleh penuntut umum maupun fakta yang disampaikan oleh terdakwa melalui kuasa hukumnya di depan persidangan. Sehingga hakim menilai fakta yang disampaikan apakah memiliki nilai pembuktian atau tidak. Hal inilah yang dimaksud dengan fakta hukum untuk menyatakan terdakwa bersalah berlandaskan prinsip negatief wetterlijke, bukan pada keterangan-keterangan yang tidak didasarkan pada mekanisme hukum, sehingga berpotensi sebagai salah satu faktor penyebab distrosi masyarakat terhadap hukum. “Di beberapa negara pelanggaran atas asas res judicata pro veritate habetur, yang dibadankan dalam bentuk norma hukum sebagai bentuk kejahatan, karena dampak buruknya terhadap gangguan keamanan negara sebagai pilar negara di bidang kekuasaan yudikatif,” ujar Dr Alpi. Meyakinkan Hakim Lebih lanjut Dr Alpi menyatakan bahwa tujuan dan kegunaan pembuktian berdasarkan sistem due process model pada proses pemeriksaan persidangan sebagai berikut: Pertama, bagi penuntut umum. Pembuktian merupakan usaha untuk meyakinkan Hakim yang berdasarkan alat bukti yang ada agar menyatakan seseorang terdakwa bersalah sesuai surat atau catatan dakwaan. Kedua, bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaiknya untuk meyakinkan Hakim, yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepas dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasehat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut kebalikannya. Ketiga, bagi Hakim atas dasar pembuktian tersebut, yakni dengan adanya alat-alat bukti yang ada dalam persidangan, baik yang berasal dari penuntut umum atau penasehat hukum/terdakwa dibuat dasar untuk membuat keputusan. “Terhadap perkara hilangnya nyawa Wayan Mirna Salihin adalah akibat adanya racun Sianida yang masuk dalam tubuhnya, hal ini harus dibuktikan, karena jenis deliknya adalah delik materil yang menitikberatkan pada akibat (de door het gevolg gequalificeerde delicten). Untuk memfaktakan akibat dari musabab hilangnya nyawa tentunya memerlukan scientific crime evindece, setelah terfaktakan akibat dari musabab, maka musabab itu tertuju pada perbuatan dari orang yang melakukan perbuatan. Kumpul Dan Cari Alat Bukti Di sinilah peran direct evindece dan circum stantial evidence yang berlandaskan scientific evidence untuk menandakan siapa pelakunya. Di sinilah peran penyidik mengumpulkan dan mencari alat bukti untuk terangnya suatu peristiwa sebagai tindak pidana yang terjadi, bukan menyatakan si petindak sebagai orang yang bersalah telah melakukan tindak pidana. Sehingga tidak beralasan adanya pandangan-pandangan bahwa perkara terhadap Jessica dinyatakan bersalah, karena didasarkan pada oknum penyidik atau atasan penyidik yang melakukan rangkaian kegiatan penyidikan pada waktu itu. “Hal ini keliru karena untuk menyatakan si petindak bersalah atau tidak bersalah berdasarkan sistem due process model yang dianut di Indonesia adalah hakim yang memeriksa perkara dimaksud. Ketersalahan merupakan domain pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan yang dilakukan oleh si petindak (toerekeningsvatbaarheid van de dader),” katanya.
https://mci.life/dr-alpi-sahari-sh-m-hum-kasus-kopi-jessica-diputuskan-dengan-sistem-due-process-model/?feed_id=32727&_unique_id=6521dfdd7fc84

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama